Asas Kebebasan Berkontrak dalam Kaitannya Dengan
Perjanjian Baku (Standard Contract)
by. Muliadi Nur
Salah satu asas yang dikenal dan dianut dalam hukum perjanjian di Indonesia ialah asas kebebasan berkontrak. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Dan dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.
Selama perkembangannya hampir setengah abad Hukum Perjanjian Indonesia mengalam perubahan, antara lain sebagai akibat dari keputusan badan legislatif dan eksekutif serta pengaruh dari globalisasi. Dari perkembangan tersebut dan dalam praktek dewasa ini, perjanjian seringkali dilakukan dalam bentuk perjanjian baku (standard contract), dimana sifatnya membatasi asas kebebasan berkontrak. Adanya kebebasan ini sangat berkaitan dengan kepentingan umum agar perjanjian baku itu diatur dalam undang-undang atau setidak-tidaknya diawasi pemerintah.
Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku disebabkan karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, dan hanya menerima apa yang disodorkan. Pemakaian perjanjian baku tersebut sedikit banyaknya telah menunjukkan perkembangan yang sangat membahayakan kepentingan masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa awamnya masyarakat terhadap aspek hukum secara umum, dan khususnya pada aspek hukum perjanjian.
Pengertian Perjanjian
Adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih (pasal 1313 KUH Perdata). Defenisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan tersebut adalah tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap oleh karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.
Menurut Sri Soedewi Masychon Sofyan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengkatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. (A. Qiram Syamsuddin Meliana, 1985: 7). Selain itu menurut R. Subekti (1997: 7) Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana orang lain saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Sedang perjanjian menurut R. Wiryono Pradjadikoro (1981: 11) adalah suatu perbuatan hukum dimana mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut.
Selanjutnya menurut KRMT Tirtadiningrat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-undang. (A. Qiram Syamsuddin Meliana, 1985: 6).
Dari beberapa pengertian di atas, tergambar adanya beberapa unsur perjanjian, yaitu :
- Adanya pihak-pihak yang sekurang-kurangnya dua orang, Pihak-pihak yang dimaksudkan di sini adalah subyek perjanjian yang dapat berupa badan hukum dan manusia yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum menurut undang-undang.
- Adanya persetujuan atau kata sepakat, Persetujuan atau kata sepakat yang dimaksudkan adalah konsensus antara para pihak terhadap syarat-syarat dan obyek yang diperjanjikan.
- Adanya tujuan yang ingin dicapai, Tujuan yang ingin dicapai dimaksudkan di sini sebagai kepentingan para pihak yang akan diwujudkan melalui perjanjian.
- Adanya prestasi atas kewajiban yang akan dilaksanakan, Prestasi yang dimaksud adalah sebagai kewajiban bagi pihak-pihak untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati.
- Adanya bentuk tertentu, Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yangdibuat oleh para pihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat pembuktian yang sah bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
- Adanya syarat-syarat tertentu, Syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian yang antara satu dengan yang lainnya dapat menuntut pemenuhannya.
Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat yang terdapat pada setiap perjanjian, dengan dipenuhinya syarat-syarat tersebut maka suatu perjanjian dapat berlaku sah. Adapun keempat syarat tersebut adalah:
1. Sepakat mereka yang mengadakan perjanjian
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Ke empat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu :
- Syarat subyektif, yaitu suatu syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu, atau dengan kata lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, dimana dalam hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian itu. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu ada tetapi dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak.
- Syarat obyektif, yaitu syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian. Ini meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum dengan kata lain batal sejak semula dan dianggap tidak pernah ada perjanjian.
Asas-asas Hukum Perjanjian
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contracts vrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari pasal ini kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa orang lelluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Orang tidak saja leluasa untuk mebuat perjanjian apa saja, bahkan pada umumnya juga diperbolehkan mengeyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam KUH Perdata. Sistem tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka (openbaar system).
b. Asas Itikad Baik
Dalam hukum perjanjian dikenal asas itikad baik, yang artinya bahwa setiap orang yang membuat suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap bathin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang Itikad baik dalam pengertian yang obyektif diamksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat.
c. Asas Pacta Sun Servada
Asas Pacta Sun Servada adalah suatu asas dalam hukum perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang membuat seperti kekuatan mengikat suatu undang-undang, artinya bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para piha akan mengikat mereka seperti undang-undang. Dengan demikian maka pihak ke tiga bisa menerima kerugian karena perbuatan mereka dan juga pihak ketiga tidak menerima keuntungan karena perbuatan mereka itu, kecuali kalau perjanjian itu termasuk dimaksudkan untuk pihak ke tiga. Asas ini dalam suatu perjanjian dimaksudkan tidak lain adalah untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjian itu.
Kalaulah diperhatikan istilah perjanjian pada pasal 1338 KUH Perdata, tersimpul adannya kebebasan berkontrak yang artinya boleh membuat perjanjian, baik perjanjian yang sudah diatur dalah KUH Perdata maupun dalam Kitab Undang-undang Hukum dagang atau juga perjanjian jenis baru, berarti di sini tersirat adanya larangan bagi hukum untuk mencampuri isi dari suatu perjanjian. Adapun tujuan dari asas ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada para konsumen bahwa mereka tidak perlu khawatir akan hak-haknya karena perjanjian karena perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
d. Asas Konsensuil
Maksud dari asas ini ialah bahwa suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian tanpa diikuti oleh perbuatan hukum lain, kecuali perjanjian yang bersifat formil. Ini jelas sekali terlihat pada syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dimana harus ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata). Perjanjian itu sudah ada dalam arti telah mempunyai akibat hukum atau sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat. Sedangkan dalam pasal 1329 KUH Perdata tidak disebutkan suatu formalitas tertentu di samping kata sepakat yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu adalah sah. Artinya mengikat apabila sudah tercapai kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan.
Terhadap asas konsensualitas ini terdapat pengecualian yaitu apabila ditentukan suatu formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan ancaman batal apabila tidak dipenuhi formalitas tersebut, misalnya perjanjian penghibahan, perjanjian mengenai benda tidak bergerak.
e. Asas Berlakunya Suatu Perjanjian
Asas ini dimaksudkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Pada asasnya semua perjanjian itu hanya berlaku bagi para pihak, pihak ke tigapun tidak bisa mendapat keuntungan karena adanya suatu perjanjian tersebut, kecuali yang telah diatur dalam undang-undang. Asas berlakunya suatu perjanjian ini diatur dalam pasal yaitu:
Pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi “Umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi “Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan ini tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tidak dapat pihak etiga mendapat manfaat karenanya; selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317.
Perjanjian Baku
Perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract” atau “standard voorwaarden”. Di luar negeri belum terdapat keseragaman mengenai istilah yang dipergunakan untuk perjanjian baku. Kepustakan Jerman mempergunakan istilah “Allgemeine Geschafts Bedingun”, “standard vertrag”, “standaardkonditionen”. Dan Hukum Inggris menyebut dengan “standard contract”. Mariam Darus Badruzaman (1994: 46), menerjemahkannya dengan istilah “perjanjian baku”, baku berarti aptokan, ukuran, acuan. Olehnya jika bahsa hukum dibakukan, berarti bahwa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum.
Sehubungan dengan sifat massal dan kolektif dari perjanjian baku “Vera Bolger” menamakannya sebagai “take it or leave it contract”. Maksudnya adalah jika debitur menyetujui salah satu syarat-syarat, maka debitur mungkin hanya bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu sama sekali tidak ada.
Rijken mengatakan bahwa perjanjian baku adalah klausul yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.
Handius merumuskan perjanjian baku sebagai berikut: “Standaardvoorwaarden zijnschriftelijke concept bedingen welke zijn opgesteld om zonder orderhandelingen omtrent hun inhoud obgenomen te worden Indonesia een gewoonlijk onbepaald aantal nog te sluiten overeenkomsten van bepaald aard” artinya: “Perjanjian baku adalah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimya dtuangkan dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu”. (Mariam Darus Badruzaman 1994: 47).
Perjanjian baku dapat dibedakan dalam tiga jenis:
- Perjanjian baku sepihak, adalah perjanian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
- Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727 akta hipotik model 1045055 dan sebagainya.
- Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “contract model”.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa secara yuridis, perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini berarti bahwa pihak yang mengadakan perjanjian diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dan mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan. (Subekti, 1997: 13).
Kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan perjanjian baku yang merupakan bahasan dari makalah ini dilatar belakangi oleh keadaan, tuntutan serta perkembangan dewasa ini, terlebih dalam dunia bisnis yang hampir disetiap bidangnya tidak lepas dari aspek transaksi ataupun perjanjian. Dalam kondisi tersebut, timbul suatu pertanyaan yang sekaligus menjadi permasalahan dalam makalah ini bahwa apakah perjanjian baku tersebut dapat dikatakan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian khusus kaitannya serta hubungan dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, atau dengan kata lain apakah perjanjian baku (standard contract) bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.
Kaitannya dengan pertanyaan/masalah tersebut, sebagaimana juga yang telah dituangkan dalam kerangka teori, bahwa unsur yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata ada empat, yaitu :
a. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal yang tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Kesepakatan mereka (para pihak) mengikatkan diri adalah merupakan asas esensial dari hukum perjanjian, yang juga biasa disebut dengan asas konsensualisme, yang menentukan “ada”nya perjanjian. Asas kebebasan ini juga tidak hanya terdapat atau milik KUH Perdata saja, akan tetapi asas ini berlaku secara universal, bahkan asas ini juga dikenal dalam hukum Inggris. Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti “kemauan” (will) para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri. Kemauan ini membangkitkan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu dipenuhi.
Asas kebebasan berkontrak juga berkaitan erat dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Dan perjanjian yang dibuat trsebut sesuai dengan pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat. Meninjau masalah “ada” dan “kekuatan mengikat” pada perjanjian baku, maka secara teoretis yuridis perjanjian tersebut (standard contract) tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata. Dikatakan demikian sebab jika melihat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan para debitur untuk mengadakan “real bergaining” dengan pengusaha (kreditur). Debitur dalam keadaan ini tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi perjanjian baku tersebut, dan hal ini bertentangan dengan pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata di atas.
Dalam melihat permasalahan ini terdapat dua paham bahwa apakah perjanjian baku tersbut melanggar asas kebebasan berkontrak atau tidak. Paham pertama secara mutlak memandang bahwa perjanjian baku bukanlah suatu perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai pembentuk undang-undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Paham kedua cenderung mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dengan asumsi bahwa jika debitur menerima dokumen suatu perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.
Penulis sendiri dalam hal ini tidak memihak pada salah satu dari kedua paham tersebut. Di satu sisi penulis lebih melihat bahwa perjanjian baku secara teoretis yuridis bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dengan tidak terpenuhinya ketentuan undang-undang yang mengatur. Namun di sisi lain kitapun tak dapat menutup mata akan perkembangan yang terjadi mengenai hal ini, dimana dalam kenyataannya, kebutuhan masyarakat cenderung berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan, dengan mempertimbangkan faktor efesiensi baik dari segi biaya, tenaga dan waktu, dan lainnya. Namun dimata penulis, penggunaan perjanjian baku ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan, dengan pertimbangan utama yaitu pada aspek perlindungan buat debitur/konsumen.
[+/-] Baca Selengkapnya.