Monday, March 24, 2008

Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Perceraian

by. Muliadi Nur

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita yang diharapkan di dalamnya tercipta rasa sakinah, mawaddah dan rahmah. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya saling pengertian dan saling memahami kepentingan kedua belah pihak, terutama lagi yang terkait dengan hak dan kewajiban.

Dalam kehidupan rumah tangga sering kita jumpai orang (suami isteri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya, akibat karena tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan diantara keduanya (suami isteri) tersebut. Dan tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian).

Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq (terjadinya perselisihan/persengketaan yang berlarut-larut antara suami isteri). Namun jauh sebelumnya dalam Al-Qur’an surah an-Nisaa ayat 35, Allah swt., telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku “mediator” dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut.

Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”, yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan. Namun tidak selamanya proses penyelesaian sengketa secara mediasi, murni ditempuh di luar jalur pengadilan. Salah satu contohnya, yaitu pada sengketa perceraian dengan alasan, atau atas dasar syiqaq, dimana cara mediasi dalam masalah ini tidak lagi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi ia juga merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan.

Pembahasan
Untuk mengetahui pentingnya peranan hakam (mediator) dalam ikut menyelesaikan sengketa perceraian, maka tak berlebihan kiranya apabila beberapa istilah-istilah pokok dalam makalah ini perlu penjelasan secara proporsional dan baik agar pemahaman komprehensif, utuh dan bermakna dapat diperoleh untuk kejelasan pemahaman terhadap hal-hal yang akan dibahas. Pemahaman demikian sangat signifikan adanya sebab tiap istilah dalam suatu kajian terkait erat dengan teksnya untuk kemudahan pemahaman terhadap konsep dari istilah yang digunakan, sehingga kontribusinya dapat dimanfaatkan secara jelas bagi ilmu pengetahuan dengan baik.

Mediasi (Mediation) : The process by which the participants, together with the assistance of the neutral persons, systematically isolate dispute issues in other to develop options, consider alternatives, and reach a consensual settlement that mil accommodate their needs. Mediation : is decision-making process in which the parties are assisted by a third party, the mediator; the mediator attempts to improve the process of decision-making and to assist the parties reach an outcome to which of them can assent.

Perkawinan: menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Syiqaq, berasal dari bahasa Arab “syaqqa” ~ “yasyuqqu” ~ “syiqaaq”, yang bermakna “al-inkisaar”, pecah, berhamburan. Sedang “syiqaq” menurut istilah oleh ulama fiqhi diartikan sebagai perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami isteri yang telah berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya. Sejalan dengan pengertian tersebut “syiqaq” menurut penjelasan pasal 76 (1) UU No. 7/1989 adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami isteri.

Hakam menurut penjelasan pasal 76 ayat (2) ialah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain untuk mencapai upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq. Menurut Noel J. Coulson dan Morteza Mutahhari (1985 : 243), hakam dipilih dari keluarga suami dan isteri. Satu orang dari pihak keluarga suami dan satu orang dari pihak keluarga isteri, dengan persyaratan jujur dan dapat dipercaya, berpengaruh dan mengesankan, mampu bertindak sebagai juru damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami isteri, sehingga suami isteri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing.

Kalaulah dibandingkan pengertian yang dikemukakan oleh Morteza Mutahhari dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2), tampaknya pengertian yang dikemukakan yang dikemukakan beliau sangat dekat dengan maksud yang tertulis dalam QS. An-Nisaa : 35. Sedang apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2) sudah agak menyimpang.

Hakam yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an terdiri dari dua orang yang diambil atau dipilih masing-masing satu orang dari keluarga pihak suami isteri. Sedang hakam yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2) boleh dari pihak keluarga suami saja, atau dari pihak keluarga isteri saja, bahkan diperbolehkan hakam yang terdiri dari pihak lain. Namun demikian, maksud dan tujuan pembuat undang-undang bukanlah untuk menyingkirkan ketentuan surah An-Nisaa : 35, tetapi tujuannya agar rumusan ayat itu dapat dikembangkan menampung problema yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dalam batas-batas acuan jiwa dan semangat yang terkandung di dalamnya.

Pengangkatan Hakam
Pengangkatan hakam dalam perkara peceraian atas dasar syiqaq, ialah dilakukan pada sesudah proses pemeriksaan perkara melewati tahap pemeriksaan saksi, yaitu setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan, dengan kata lain Pengadilan barulah dapat mengangkat hakam setelah pemeriksaan pembuktian selesai diperiksa. Saksi-saksi dan alat-alat bukti lain yang diajukan para pihak telah selesai diperiksa.

Prosedur demikian didasarkan, bahwa Pengadilan atau hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara seksama apa dan bagaimana perselisihan serta persengketaan suami isteri, dan faktor yang melatar belakangi perselisihan sudah dapat diraba, barulah hakim memberi bekal kepada hakam (mediator) tentang segala sesuatu yang ditemukan di persidangan untuk dijadikan bahan menjajaki usaha penyelesaian perselisihan. Dan agar hakam dapat bekerja sebaik mungkin, segala sesuatu yang terjadi di persidangan haruslah disampaikan kepadanya.

Berdasarkan ketentuan pasal 76 ayat (2), bahwa yang berwenang mengangkat hakam adalah pengadilan, yang pengangkatannya dilakukan oleh Ketua Majelis yang memeriksa perkara. Namun demikian dari segi pendekatan hukum Islam maupun dari segi pendekatan hukum acara perdata, pengusalan hakam datang dari pihak-pihak yang berperkara. Para pihak bebas memutuskan siapa yang mereka ingini menjadi hakam dari pihaknya. Akan tetapi apa yang mereka usulkan, tidak mengikat hakim. Oleh karena demikian, sebaiknya hakim menganjurkan kepada para pihak untuk mengusulkan beberapa orang, serta dalam pengusulan itu dilengkapi dengan biodata masing-masing calon.

Pendapat Hakam (Mediator) Tidak Mengikat
Pasal 76 ayat (2) UU No. 7/1989 tidak menyinggung sampai dimana kekuatan mengikat usul hakam (mediator) kepada hakim dalam menjatuhkan putusan. Barangkali hal itu sesuai dengan fungsi hakam yang tidak dibarengi dengan kewenangan apa pun. Sebagaimana yang sudah disinggung, undang-undang tidak memberikan kewenangan bagi hakam (mediator) untuk menjatuhkan putusan.

Hakam (mediator) yang diatur dalam pasal 76 ayat (2) lebih menitikberatkan kewajiban dari pada kewenangan. Hakam wajib berusaha untuk mencari upaya penyelesaian, tapi tidak berwenang memutus dan menyelesaikan sendiri perselisihan perselisihan suami isteri.

Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan Achmad Ali bahwa mediator (hakam) yang netral tidak bertindak sebagai seorang hakim; dia tidak mempunyai otoritas untuk menjatuhkan suatu putusan. Malahan, mediator memimpin suatu pemeriksaan tatap muka dengan pihak yang bersengketa dan menggunakan keterampilan khusus tentang bagaimana mendengarkan problem para pihak, keterampilan bertanya, bernegosiasi dan membuat pilihan, membantu para pihak menentukan solusi mereka sendiri terhadap persengketaan mereka. Lanjut menurutnya, bahwa sebenarnya mediator bertindak sebagai katalisator (pembuat perubahan), keterampilan khususnya diterapkannnya pada pihak yang bersengketa dengan membantu mereka dalam menyelesaiakan perselisihan.

Namun mengenai hal ini terdapat dua pendapat, pertama, ada yang berpendapat bahwa hakam tidak mutlak mempunyai wewenang mengambil putusan. Namun pendapat yang paling umum berpendirian, bahwa hakam berwenang mengambil putusan, dan putusan yang dijatuhkan hakam, mengikat kepada suami isteri.

Peran Hakam Sebagai Mediator Dalam Menyelesaikan Sengketa Perceraian Dengan Alasan Syiqaq
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa terdapat dua cara penyelesaian sengketa, yaitu penyelesaian sengketa dengan cara litigasi (lewat Pengadilan), dan penyelesaian dengan cara non litigasi, salah satu diantaranya adalah cara “Mediasi”, dimana orang yang menjalankannya biasa disebut dengan “mediator”, yang sekaligus merupakan substansi dari kajian ini.

Perbedaan mendasar dari kedua cara penyelesaian sengketa tersebut, seperti yang banyak dikenal orang ialah, bahwa cara “litigasi” yaitu cara penyelesaian sengketa secara “formal” (lewat Pengadilan) serta mempunyai prosedur serta aturan-aturan yang mesti dipenuhi. Sedangkan cara penyelesaian “non litigasi” adalah sebaliknya (tidak melalui jalur pengadilan).

Namun sebelum lebih jauh melangkah, penulis dalam tulisan ini, tidak akan melihat hanya sebatas perbedaan tersebut, dan tidak akan mengkaji atau memilah-milih, apalagi membandingkan baik sisi-sisi kelebihan ataupun kekurangan dari kedua cara penyelesaian sengketa tersebut, melainkan akan mencoba melihat peranan mediator dalam menyelesaiakan sengketa perceraian dengan alasan syiqaq. Dimana mediasi dalam kajian ini tidak lagi berdiri sendiri sebagai wadah atau cara penyelesaian sengketa yang non litigasi, melainkan ia ikut membantu menyelesaikan sengketa melalui proses litigasi, khususnya pada sengketa perceraian dengan alasan terjadinya syiqaq.

Peranan hakam selaku mediator dalam sengketa yang dimaksud, sangatlah jelas, dan dapat dilihat dari firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat (35), bahwa apabila dikhawatirkan ada persengketaan/perselisihan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan untuk membantu menyelesaikannya. Dimana kata hakam dalam ayat tersebut, menurut hemat penulis tidak lain adalah sebagai “mediator”.

Dari makna ayat tersebut, memberikan pemahaman akan pentingnya peran hakam (mediator) dalam ikut membantu menyelesaikan sengketa/perselisihan yang terjadi antara suami isteri. Sebab bukan tidak mungkin, dengan bantuan hakam sebagai mediator dalam masalah tersebut para pihak akan lebih terbuka untuk membicarakan persoalan yang sebenarnya dengan tanpa adanya tekanan, baik secara fisik maupun psikologis, karena hanya berhadapan dengan mediator yang ia yakin dapat membantunya. Dan situasi seperti ini sangatlah berbeda jika dilakukan di depan orang banyak, dimana tidak menutup kemungkinan masing-masing pihak merasa tidak ingin dikalahkan, dengan saling mengedepankan dan mempertahankan egoisme.

Dan apabila ditelusuri lebih dalam, ada kalanya para pihak yang berselisih tersebut (suami isteri), salah satu diantara keduanya atau mungkin pula dua-duanya, dalam hati kecilnya masih menginginkan untuk kembali seperti biasa, namun kadang kendalanya, disamping faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, mereka tidak mengetahui serta tidak mampu untuk memulainya.

Inilah mungkin salah satu hikmah diperintahkannya oleh Allah swt., untuk mengutus hakam selaku mediator dalam ikut menyelesaikan perselisihan antara suami isteri, yang sekaligus memperlihatkan kepada kita begitu penting dan mulianya peranan serta tugas dari hakam (mediator) tersebut dalam berusaha mendamaikan keduanya.

Peranan hakam selaku mediator yang cukup besar, dapat juga dilihat dalam penjelasan pasal 76 ayat (2) UU No. 7/1989, dimana pengangkatan hakam dalam perkara perceraian atas dasar syiqaq, dilakukan sesudah proses pemeriksaan saksi serta alat-alat bukti yang diajukan para pihak. Setelah Pengadilan atau hakim mendapat gambaran secara seksama apa dan bagaimana perselisihan serta persengketaan suami isteri dan faktor yang mempengaruhinya, dan berpendapat bahwa ada kemungkinan bisa didamaikan melalui hakam yang dekat dan berpengaruh kepada suami isteri. Hemat penulis peranan hakam selaku mediator sangat berguna dalam ikut membantu, memberikan masukan serta pertimbangan pada pengadilan atau hakim guna memutus dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi.

Kewenangan Hakam Selaku Mediator Dalam Menyelesaikan Perselisihan Perkawinan
Yang dimaksud dengan kewenangan hakam selaku mediator dalam menyelesaikan sengketa perceraian atas dasar syiqaq, tidak lain adalah kewenangan hakam untuk menjatuhkan putusan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kerangka teori sebelumnya, bahwa pendapat hakam tidak mengikat hakim dalam menjatuhkan putusan. Undang-undang dalam hal ini juga tidak memberikan kewenangan bagi hakam untuk menjatuhkan putusan.

Hakam yang diatur dalam pasal 76 ayat (2) lebih dititikberatkan pada kewajiban dari pada kewenangan. Hakam wajib berusaha untuk mencari upaya penyelesaian, tapi tidak berwenang memutus dan menyelesaikan sendiri perselisihan perselisihan suami isteri. Sesuai fungsinya dan peranannya, hukum memberikan kepada hakam hak mengusulkan atau mengajukan pendapat kepada hakim yang mengangkatnya, dan tidak mengikat bagi hakim. Dalam hal ini tampaknya undang-undang memberikan kebebasan yang sepenuhnya kepada hakim untuk menilai usulan dari hakam.

Memang mengenai hal ini terdapat dua pendapat, dimana ada yang berpendapat bahwa hakam tidak mutlak mempunyai wewenang mengambil putusan. Namun ada juga pendapat berpendirian, bahwa hakam berwenang mengambil putusan, dan putusan yang dijatuhkan hakam, mengikat kepada suami isteri.

Namun di luar dari itu semua, dan dengan tidak bermaksud untuk menafikan pendapat yang ada, penulis memandang bahwa meskipun pada prinsipnya (sesuai aturan) usul hakam tidak mengikat, tetapi kalau usul yang diajukan tersebut didukung oleh alasan-alasan yang logis dan masuk akal, kurang bijaksana rasanya apabila hakim mengabaikannya, sekurang-kurangnya usulan pendapat hakam harus diperhatikan hakim dalam mengambil putusan.

Dan penulis yakin, bahwa dengan acuan-acuan penerapan yang ada, hakim tidak akan membabi buta dan menelan begitu saja pendapat dan usul hakam. Apalagi bertitik tolak dari asumsi tentang adanya kemungkinan hakam yang ceroboh dalam mengambil kesimpulan mengusulkan perdamaian sekalipun tidak didukung oleh dasar alasan yang benar, dengan sendirinya kurang dapat dipertanggung jawabkan rasanya apabila hakim tutup mata dalam menerima usul tersebut begitu saja.

Penutup
Sebagai kesimpulan bahwa peranan hakam sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa perceraian atas dasar syiqaq, sangatlah bermanfaat dan berarti dalam memberi masukan pada hakim guna ikut menyelesaiakan perselisihan yang terjadi.

Kewenangan hakam selaku mediator dalam penyelesaian sengketa perceraian hanya sebatas memberikan usulan pendapat dan pertimbangan dari hasil yang telah dilakukan, kepada hakim. Dan Undang-undang tidak memberikan kewenangan kepadanya untuk menjatuhkan putusan.

1 comments:

Anonymous March 18, 2009 at 6:54 AM  

makasih banyak....

  © Blogger template 'Isolation' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP